Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Monday 4 January 2010

~~~…Ayah/Abi…~~~




Ayah!

Betapa menggetarkannya panggilan itu. Betapa mengharubirukannya nada itu. Betapa menggairahkannya suara patah-patah itu. Selalu ada nuansa baru setiap kali empat huruf itu menguntai menjadi kata dan meluncur dari mulut kecil seorang bocah.


Ayah!


Betapa kata itu memberi saya, dan juga kamu, bahkan kita semua para ayah, gairah kehidupan yang senantiasa mendorong langkah kita untuk melanjutkan perjalanan berat ini , merambah belantara dunia yang kadang tidak bersahabat, atau bahkan memecahkan seonggok karang besar di tengah samudera kehidupan.


Setelah kata iman, tak ada lagi kata dalam kamus kehidupan–selain kata ayah– yang mampu mengajari Anda tentang makna pertanggungjawaban yang paling hakiki. Sesuatu yang muncul dengan tulus saat Anda menangkap kesan ‘diharapkan’ dibalik panggilan itu. Sesuatu yang muncul dengan kuat dan elegan ketika Anda merasa menjadi ‘benteng’ proteksi dan perlindungan bagi sejumlah anak manusia. Sesuatu yang dapat merubah pemujaan Anda terhadap diri sendiri menjadi pengorbanan yang paling tulus ketika Anda harus menjadi perisai bagi beberapa jiwa manusia. Dan tiba-tiba saja Anda telah berada disitu, di depan kata ini;maut! Dan dua butir bola kecil yang membulir di celah pipi Anda takkan pernah membuatmu sedih, atau bahkan menyentuh perasaan yang begitu kuat menggelora dalam batin; kebanggaan.


Ayah!


Tapi kata ini adalah juga melodi yang paling harmoni dengan getaran obsesi kelaki-lakian kita. Beberapa bagian dari ‘makna sosial’ kelaki-lakian kita takkan pernah terpenuhi sebelum kata itu mengganti nama saya, dan juga Anda, untuk kemudian menjadi panggilan sehari-hari. Mimpi-mimpi superioritas Anda sebagian menjelma menjadi kenyataan disini; ketika bocah-bocah kecil itu bergelayutan di lengan kekar Anda, atau ketika istri Anda malakukan sesuatu yang tidak Anda senangi dan Anda mengatakan; saya tidak suka ini!


Mungkin Anda bukan penguasa negara, atau seorang jenderal dengan ribuan prajurit atau seorang manajer besar dengan ratusan bawahan. Mungkin sekali Anda hanya prajurit biasa, atau seorang bawahan kecil, atau seorang pesuruh. Tapi, rumah -walaupun hanya kontrak- tempat Anda setiap hari dipanggil ayah, adalah wilayah teritorial Anda. Dalam wilayah kecil itu, masih tersisa sesuatu yang bisa menberi Anda rasa berkuasa. Karena Anda adalah ayah. Karena Anda adalah qowwam (pemimpin)


Mungkin posisi dalam pekerjaan Anda tidak menggoda orang banyak untuk selalu memberi Anda seuntai senyum manis di pagi hari. Bahkan sebaliknya, Andalah yang harus setiap saat mengobral senyum untuk memberi kesan hormat, untuk memuaskan rasa berkuasa atasan Anda, dan untuk mempertahankan posisi Anda yang sebenarnya sudah sempit dan sumpek. Tapi, disini dalam wilayah teritorial Anda tadi, Anda berhak mendapat senyum dan ciuman tangan sebelum Anda berangkat ketempat kerja, untaian doa-doa sepanjang Anda di perjalanan dan tempat kerja, dan sebuah senyum manis ketika Anda mengetuk pintu rumah di sore hari. Anda memang berhak mendapatkan itu. Karena Anda seorang ayah. Juga karena Anda sangat membutuhkannya, sebab ia menciptakan keseimbangan sosiopsikis dalam diri Anda, memberi Anda proteksi psikologis, memaknai kehadiran sosial Anda sebagai manusia dan membuat Anda merasa lebih berharga. Anda membutuhkan perasaan-perasaan seperti itu, sesuatu yang menghilangkan rasa lelah dalam jiwa dan raga Anda, sama seperti ketenangan malam yang menghilangkan sengatan matahari siang.


Ayah!


Itulah kata yang mengajari Anda makna hakiki dari pertanggungjawaban, memberi Anda semua kebutuhan Anda akan rasa bangga, makna kehadiran sosial, obsesi kelaki-lakian, superioritas, rasa berkuasa. Itu ketika Anda memaknai kata itu dengan perilaku dan pola sikap yang balance dengan semua janji psikologis yang tersimpan dibaliknya.


Dan kita semua membutuhkan itu. Agar kita kuat mengarungi lautan kehidupan, agar kita tegar menerjang gelombang samudera, agar kulit perasaan kita tidak terbakar oleh sengatan matahari, agar telapak kaki kita tetap teguh melewati duri-duri, agar mata hati kita memandang lebih jauh dari batas kaki langit, agar ingatan kita mengenang sore dipagi hari dan mengenag pagi di sore hari; semua agar kita mampu memberi sesuatu bagi yang lain.


Kata itu memberi kita begitu banyak. Tapi semua yang diberikannya itu adalah membuat sesuatu yang akan membuat kita sanggup memberi. Sebab kita bukan lilin. Sebab kita adalah manusia. Sebab pecahan-pecahan diri kita adalah jiwa, adalah rasa, adalah raga.


Dan ketika Anda tidak mendapatkan itu, Anda akan merasakan betapa sulitnya mencari sumber lain yang dapat memberikan Anda sesuatu yang telah diberikan oleh Sang Ayah. Kekayaan akan menjadi ancaman ketika Anda memiliki dan menikmatinya sendiri. Popularitas akan berbalik menjadi bumerang ketika Anda harus menanggung bebannya seorang diri. Anda tidak akan pernah kuat mendayung perahu kehidupan ini seorang diri. Bumi besar ini akan berubah menjadi penjara kesepian yang akan mencampakkan Anda pada sunyi yang panjang tak berujung.


Kata itulah yang memungkinkan Anda menemukan ’sahabat-sahabat’ setia yang akan menemani Anda menikmati kekayaan Anda disaat Anda hidup dan setelah Anda mati. Kata itulah yang akan menciptakan ‘pengagum-pengagum’ abadi ketika popularitas Anda sedang menanjak dan ketika semuanya mencemoohkan Anda. Kata itulah yang membuat Anda selamanya merasa ‘diterima’.

Ayah!


Dan ketika lelaki-lelaki modern enggan menjadi kata itu, maka kata itu juga enggan menjadi mereka. Ketika mereka menolak janji-janji kata itu, menganggapnya sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya sebagai pintu penjara, kata itu justru enggan membantu mereka melepaskan diri dari jerat kesendirian, membasuh kulit mereka yang lepuh akibat sengatan matahari. Kata itu enggan menyediakan dermaga tempat mereka menambat perahu hati, berlabu dari galau kehidupan.


Satu-satu laki-laki modern itu mati tertusuk sembilu sepi. Dan padi-padi kuning yang dulu menyiur melambai, kini gugur satu-satu. Dunia kita telah menjelma menjadi tanah tandus yang retak, rumah-rumah kita menjadi sarang hantu yang begitu menyeramkan. Takkan pernah ada diantara mereka yang sanggup bertahan lama. Setiap jengkal tanah yang kita lewati adalah mayat. dan ketika mayat-mayat itu telah habis, kitalah yang menjadi jengkal tanah baru yang akan dilalui oleh mereka yang ditakdirkan hidup. Bumi kita bukan lagi firdaus. Ia telah menjelma menjadi kuburan tanpa batas.


Di ujung jengkal tanah itu, ketika tak lagi ada sisa mayat, ketika sebentar lagi ia akan menjadi sejengkal tanah, seorang lelaki tua dari tanah Egypt, aktor dunia yang kini bermukim di Perancis, berujar perlahan; “Ambillah segenap kekayaan dan popularitasku, tapi berikan aku seorang anak, biar tangisnya memecah sunyi dalam jiwaku. Aku ingin jadi ayah!”


Omar El Syarif, lelaki tua itu, seperti menyampaikan pesan dari dunia lain. ….. Rugilah lelaki yang tak merindukan panggilan itu…. Demi Alloh…!! sungguh RUGI…!!! menikahlah agar cita itu terwujud

sumbangan dari :

(Dakwah Islamiah Ismi)

No comments:

Post a Comment